Herba UNJ

gravatar

The Power of Positive Thinking

Spiritualpreneurship 1 : The Power of Positive Thinking
Di banyak buku Barat yang membahas tentang kekayaan, seluruhnya mengerucut pada kenyataan bahwa rahasia kekayaan adalah menguasai kekuatan fikiran. Pun yang membedakan seorang kaya dengan yang miskin adalah mindsetnya, sebuah cara memandang kehidupannya.
Penelitian membuktikan betapa dahsyatnya kekuatan fikiran. Ia berfikir 60.000 fikiran setiap hari, suka tidak suka, mau tidak mau, kita kontrol atau tidak, ia tetap berfikir. Baik fikiran itu positif maupun negatif.
Yang menarik adalah, setiap fikiran itu adalah DO’A. Kenapa? Karena ketika kita akal kita berfokus pada sesuatu, maka dia sedang menciptakan realitas yang akan mewujud dalam dunia nyata.




Banyak orang yang mengeluh, doanya tidak dikabulkan oleh Allah, padahal sudah berdoa, beribadah, sholat sebanyak yang dia bisa. Tetap tidak dikabulkan oleh Allah. Naudzubillah, ini adalah sebuah persangkaan yang keji kepada Allah. Bahkan sebaliknya, Allah selalu mengabulkan doa yang dipanjatkan. Dan ketika akal kita berfikir dan berfokus pada sesuatu, dia memiliki daya yang sangat kuat untuk memohon kepada Allah. Dan akhirnya terkabul.
Allah-lah yang berfirman “Berdo’alah kalian kepadaku, niscaya aku kabulkan”.
Ada beragam kajian fiqih tentang doa yang tidak terkabul. Bahwa mungkin belum saatnya, mungkin kita masih banyak dosa, mungkin disimpan oleh Allah untuk di akhirat, mungkin tinggal menunggu waktu. Inti dari kajian ini adalah selalu positive thinking terhadap doa yang kita panjatkan.
Banyak orang berdoa hanya di lisannya, namun apa yang ada dalam fikirannya berbeda. Ada orang yang berdoa agar hidupnya kaya, namun akal-nya berfokus pada kemiskinan. Dia menyesali KEMISKINANnya. Ingin keluar dari KEMISKINAN. Berfikir dirinya banyak HUTANG, dan seterusnya. Ada ketidakcocokan antara lisan yang dia ucapkan dengan fokus fikiran. Doa yang terkabul adalah doa yang sesuai antara lisan dan fikirannya. Dalam sebuah hadits qudsi, Allah berfirman, “Inni ‘inda dzonni ‘abdi bii…” Aku sesuai dengan persangkaan hambaku.
Ketika kita menyangka realitas kita adalah miskin, maka miskinlah kita. Ketika kita menyangka hutang kita banyak, banyaklah hutang kita. Ketika kita menyangka Allah tidak adil, ketidakadilan-lah yang akan menghampiri kita. Ketika kita menyangka rizqi Allah terbatas, sedikit-lah rizqi kita… Lalu siapa yang berperan dalam tugas “menyangka”? akal-lah yang melakukan tugas itu. Simaklah firman Allah yang menggetarkan ini,
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)” (QS. 6:116) “Sesungguhnya, sebagian dari prasangka itu adalah dosa” (QS. 49:12)
Maka, realita hidup kita adalah proyeksi dari akal fikiran. Fikiran-fikiran kita terus mengeluarkan prasangkanya, hingga menjadi sebuah realitas, yang bernama “nasib”.
Untuk keluar dari prasangka nampaknya tidak mudah. Kita selalu terpenjara dengan prasangka-prasangka. Simaklah situasi berikut ini:
Kita baru saja pulang kantor, sebuah hari yang sangat melelahkan. Di kereta yang kita naiki kita duduk mengambil posisi terbaik untuk rehat. Di stasiun berikutnya, naik seorang laki-laki bersama tiga orang anaknya. Sang ayah duduk persis di samping kita, menutup mata dan acuh terhadap anak-anaknya yang lari kesana kemari, sambil berteriak-teriak. Apa yang ada dalam fikiran kita saat itu? Marah, kesal, dongkol? Bisakah kita keluar dari perasaan itu seketika? Nampaknya memang tidak mudah.
Lalu, kita tegur sang ayah. Dia kaget, “aduh maaf, saya telah mengganggu. Maafkan anak-anak saya. Ibu mereka 20 menit yang lalu baru saja meninggal tertabrak mobil, saya pun tak tahu harus berbuat apa. Saya ingin ke rumah sakit mengambil istri saya, namun saya tak tahu harus bagaimana, saya tidak punya uang”.
Kita telah bersu’udzon. Kita berfokus pada marah, kesal, dongkol, tanpa ingin tahu apa sebenarnya yang terjadi. Akhirnya realitas kebanyakan kita menghadapi itu adalah kemarahan, setelah tahu masalahnya barulah kita iba. Ya, kalau kita punya kesempatan, kalau tidak?
Pernahkah kita mellihat masyarakat kita yang langsung membakar orang yang dikejar sebagai pencuri? Saya punya catatan tentang orang yang salah bakar!! Ternyata bukan dia pencurinya, membahayakan bukan?
Jika ia membahayakan untuk orang lain, su’udzon juga membahayakan untuk diri sendiri. Itulah kenapa su’udzon memiliki peran terbesar dalam menghambat kekayaan.
JANGAN MENENGOK KE BELAKANG! Sekali lagi JANGAN MENENGOK KE BELAKANG!
Apa yang Anda rasakan? Ingin menengok ke belakang? ya, karena kerja akal kita hanya FOKUS pada sesuatu. Dia tidak menghiraukan kata negasi “jangan”. Inginnya kita mematuhi perintah itu, tapi akal bekerja sendiri. Dia ingin mengabulkan FOKUS anda.
JANGAN BAYANGKAN seekor beruang, JANGAN BAYANGKAN seekor beruang yang tingginya dua kali badan kita, JANGAN BAYANGKAN apalagi ia pakai celana warna merah!
Terbukti lagi, anda membayangkan, karena itu kerja akal kita, dia fokus pada sesuatu. Dzon juga tidak membedakan apakah yang sedang didzon-kan itu diri sendiri atau orang lain…

Cari Blog Ini

Sponsor

Masukkan Code ini K1-AEBFA1-8 untuk berbelanja di KutuKutuBuku.com